INDONESIA

Tulisan Berjalan

Selamat Datang di Blog Ibni Abrar

Tuesday 8 February 2011

Gaza, Sebuah Muara Cinta

expr:id='"post-body-" + data:post.id'> Gaza, Sebuah Muara Cinta
Penulis: Dr. Ferry Hadary, ST., M.Eng*

Cinta...
Adakah kata yang lebih dahsyat darinya? Hati yang diliputi cinta akan membangkitkan rasa rindu teramat sangat. Dahsyatnya kerinduan itu menjadikan ruh, jiwa dan raga menyatu. Karenanya tak akan ada lelap, tiada pula lahap. Hilang pula aral dan bentangan jarak. Cinta memang sebuah kunci kebersamaan untuk kehidupan yang lebih indah. Hidup tanpa cinta, hampa tiada makna. Tak heran, bukankah cinta itu sendiri adalah sebuah kehidupan. Semakin dalam cinta itu tumbuh, maka semakin tinggi pula nilai dan nadi kehidupan.

Saat ruh, jiwa dan raga itu menyatu dalam cinta, kebajikan pun membuncah. Mengalir di setiap sendi kehidupan di belahan bumi mana saja. Ketika itulah setiap hati yang bersih terpercik keindahan cinta yang memesona. Riak butiran cinta itu pun akhirnya akan mencari muaranya. Berdebur, bergemuruh, bergelombang, membanjiri, dan akhirnya menghapus segala kotoran yang dilaluinya. Kini, butir-butir cinta itu menuju sebuah kota kecil, nun jauh di sana, Gaza, Palestina.

Inilah Gaza! Wilayah yang bentuknya sempit dan memanjang. Memiliki panjang wilayah 45 km, lebar 5,7 km di beberapa bagian dan 12 km di bagian yang lain sehingga luasnya adalah 365 km persegi. Selain lokasinya yang berada di ujung dekat perbatasan Mesir dan diapit oleh Laut Mediterania, Israel menempatkan pula balok-balok cor setinggi 9 meter meliputi Jalur Gaza dari selatan, utara dan timur untuk membatasi ruang gerak 1,5 juta penghuninya. Mereka tumpang-tindih di sana, kelaparan, tanpa ada pekerjaan. Bahkan tembok tersebut dilengkapi dengan sarana keamanan, alat penyergapan, tempat pengintai, alat-alat komunikasi, deteksi peringatan, alat perekam, dan alat-alat elektronik lainnya.

Akibat blokade oleh penjajah Zionis Israel, kebutuhan pokok berupa makanan, susu untuk bayi dan bahan bakar minyak tak dapat didistribusikan ke Gaza. Berbagai obat-obatan yang dibutuhkan rakyat semakin menipis bahkan sebagian jenis yang lain telah habis. Tak ada bangsal atau pun sekadar lorong kosong di asy-Syifa, rumah sakit satu-satunya, untuk pasien yang akan dirawat. Bau mayat pun merebak, memenuhi setiap sudut ruang. Penderitaan memang memiliki banyak wajah.

Kebrutalan Zionis Israel pula yang menjadikan darah dan airmata adalah sahabat karib penghuninya. Kental, menggumpal, menyaput di setiap sudut kota. Kini Gaza kembali menangis. Memilukan. Bukan! Bukan tangis ketakutan. Karena tangis itu kemudian menjelma menjadi erangan kemarahan.

Saat ini telah gugur lebih dari 700 syuhada, diantaranya 220 anak-anak, 65 wanita dan 2800 orang terluka. Api masih berkobar panas, serakah menjilat sisa bangunan. Percik darah juga semakin meruah, menggumpal di mana-mana. Rasa kemanusiaan seakan diperkosa secara brutal. Sementara gemuruh tank-tank Merkava untuk mendukung Operation Cast Lead masih pongah membelah jalanan. Rentetan senjata artileri, dentum rudal pun terus membelah langit Gaza. Memburaikan serpihan raga para syuhada. Berserak di antara reruntuhan bangunan dan kepingan logam hitam. Bau mesiu pun semakin mesra berkhalwat dengan darah.

Senjata penjajah Zionis Israel memang tak bermata. Menggorok, menerjang dan membunuh siapa saja. Tua renta, orang dewasa, remaja, bayi bahkan janin menjadi korban yang tak berdosa. Tak hiraukan pula tempat dan kapan terjadinya.

Perang sepertinya masih terus berkobar. Memaksa badai gurun sejenak berleha. Sementara angin meliuk turun dengan segenap gundah. Namun, takbir penghuni Gaza pun akan terus menyambutnya. Bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Lantunan ayat al-Qur'an serta yel-yel perlawanan turut menyesakkan angkasa. Bergema, menerobos segala batas hingga jauh ke seluruh dunia.

Inilah Gaza! Bumi di mana Hasyim bin Abdu Manaf, orangtua dari kakek Rasulullah SAW, Abdul Muththalib, wafat serta dikuburkan dan tempat kelahiran Imam Syafi’i, murid Imam Malik, pendiri mazhab Syafi’i. Bahkan Gaza kini menjadi saksi hilangnya rasa kemanusiaan.

Tanyakan kepada hati nurani kita. Adakah hati yang tak sedih mendengar jerit anak-anak kecil yang ketakutan pada gemuruh perang? Tak adakah duka menyaksikan kaum wanita menangis pilu karena kehilangan suami, anak dan keluarga? Pedihkah hati ini ketika dengan mata telanjang menatap orang-orang tak berdosa bersimbah darah?

Namun, inilah Gaza! Simbol perjuangan yang heroik dan gigih. Sepetak bumi para nabi. Surga para syuhada yang menuju gerbang istana yang menjadi janji. Menyongsong ke arah gerbang langit yang telah terbuka. Sementara berpasang mata jelita mengintip penuh kerinduan dari balik kubah atap dunia yang saujana. Wajah-wajah itu bagai pualam yang memancarkan aura cinta, berselimut wangi kesturi beraroma surga.

Hari ini, bahkan mungkin esok kita akan menjadi saksi bahwa Zionis Israel pada akhirnya sedang menyulut api untuk membakar dirinya sendiri. Kita pula yang nanti bersaksi bahwa anak-anak perang itu akan lebih kuat dan berani untuk melawan penjajahan di atas tanah mereka, walau hanya dengan batu atau peralatan perang seadanya. Kelak, merekalah yang akan gagah memasang anak panah pada busur, menebas musuh dengan pedang yang kuat mengayun, hingga menembakkan butiran peluru yang tak sabar melaju.

Seharusnya, bukankah jika gaya grafitasi dapat menahan bumi dan bintang-bintang dari saling bertumbukan, maka cintalah yang mestinya dapat menjadi kekuatan penahan dari terjadinya benturan antar manusia yang menyebabkan terjadinya kehancuran? Dan, bukankah cinta kasih itu selalu memesona karena tak memandang jenis warna kulit, suku bangsa bahkan agama? Karenanya, bila rasa kemanusiaan dengan telanjang diabaikan di Gaza, masih adakah setidaknya sebutir cinta milik kita turut mengalir bersama gemuruh jutaan butir cinta yang menuju muaranya?

0 comments:

Post a Comment