INDONESIA

Tulisan Berjalan

Selamat Datang di Blog Ibni Abrar

Sunday 18 September 2011

Dzokar Musayevich Dudayev part 2

expr:id='"post-body-" + data:post.id'>
Sejak awal kepulangannya ke Grozny, ia telah dinanti oleh para ulama yang telah merindukannya. Karena ulama pula Dudayev mengantongi kemenangan sebagai presiden pertama Republik Chechnya. Dan bersama ulama pula ia masuk ke hutan untuk bergerilya. Dimasa kepemimpinan Dudayev yang sangat singkat. Chechnya tumbuh menjadi negara yang sangat potensial. Dudayev menghentikan pemakaian huruf Cyrillic yang digunakan oleh Rusia, sebagai gantinya ia meresmikan bahasa Chechen sebagai bahasa negara dan huruf latin sebagai huruf komunikasi utama. Perekonomiannya tumbuh pesat, dan Chechnya diakui oleh negara-negara disekitarnya. Bahkan pada masa kepemimpinannya, Chechnya mulai mencetak sendiri mata uang yang digunakan sebagai alat tukar mewakili negara merdeka. Pada tanggal 1 Desember 1994, saat Yeltsin memerintahkan angkatan udara Rusia membombardir ibu kota Chechnya, Grozny. Militer dimobilisasi besar-besaran menuju Grozny. Pembunuhan dan pembantaian pun terjadi dimana-mana. Tentara-tentara komunis Rusia memerkosa para Muslimah-muslimah shalihah. Mereka membunuh para pemuda dan akhirnya melumpuhkan negara. Rakyat Chechnya tak banyak, hanya 1,2 juta jiwa saja. Akan tetapi saat presiden mereka, Dzokar Musayevich Dudayev, memproklamirkan jihad, semuanya dengan serentak dan gagah perkasa menyatakan siap berkorban jiwa raga, subhanallah. Hampir setengah dari populasi Chechnya, terutama para lelaki yang berusia muda, masuk ke hutan dan memulai perang gerilya. Pada saat itulah ia meletakkan jabatan presidennya dan memanggul kembali pangkat jenderalnya. Namun, kini ia tak berada dipihak Rusia, ia jenderal yang mewakili rakyatnya, Muslim Chechnya yang memperjuangkan kemerdekaannya. Ia meninggalkan dua orang anak laki-lakinya dan istrinya untuk masuk ke hutan dan bergerilya. Dan jika kaum Muslimin telah menetapkan niat jihadnya, bukan hal mudah untuk dikalahkan, apalagi dimusnahkan. Rusia mengalami kekalahan yang telak setiap kali serangan militer dilancarkan. Sergapan-sergapan gerilya yang dilakukan oleh para mujahidin Chechnya sepanjang tahun 1994 sampai awal 1996 memaksa Rusia untuk ke meja perundingan membicarakan peta perdamaian. Pada periode ini pula orang-orang seperti Ibnul Khattab dan juga Syamil Basayev muncul menjadi pembela utama dan pendukung pilihan jenderal Dudayev. Pada Januari 1996, pejuang-pejuang Chechnya menyandera 2.000 orang disebuah fasilitas pemerintah milik Rusia di Kizlyar. Dukungan dan perhatian internasional pun tertuju ke Chechnya. Rusia dipaksa untuk benar-benar menghentikan serangan militernya yang biadab. Akan tetapi, diam-diam selain merancang skenario jalan damai dengan Dudayev, Boris Yeltsin ternyata mendekati (Mungkin juga didekati) Amerika Serikat. Hal ini membuktikan bahwa dalam pasal memusuhi Islam, negara yang tadinya berseteru seperti Rusia dan Amerika Serikat pun terpaksa berdamai demi mengalahkan pejuang-pejuang Muslim Chechnya. Dudayev yang ahli teknologi militer, tentu sangat tahu skenario terburuk yang bisa dihadapinya. Ia pun terus berpindah tempat dan markas agar tidak terlacak oleh Rusia. Sambil sesekali melakukan kontak melalui telepon satelit dengan jarak bincang yang sangat dibatasi agar tidak terdeteksi. Teknologi militer Rusia tak ada yang mampu mengendus dimana Dudayev beserta pasukannya berada. Sementara itu, tentara Rusia terus berdarah-darah mendapatkan serangan hit and run yang sangat susah ditaklukkan. Pada 16 April 1994, tentara-tentara yang Dudayev pimpin berhasil menghancurkan satu batalion tempur Rusia, menewaskan 53 tentaranya dan juga menyerang Rusian Duma, Parlemen Rusia. Padahal, pasukan yang dipimpin oleh Dudayev hanyalah rakyat biasa, tak pernah memegang senjat, apalagi berperang melawan 400.000 tentara Rusia yang terlatih dalam segala medan pertempuran. Lima hari setelah peristiwa penting tersebut, tragedi itu terjadi. Saat itu, Dudayev terlalu lama mengudara lewat telepon satelitnya. Rusia yang telah bekerjasama dengan NSA dari Amerika yang menyediakan alat canggih pendeteksi sinyal tersembunyi berhasil mengetahui posisi tepat dimana Dudayev berada. SIGIIT, satelit mata-mata canggih milik Amerika telah memberikan kode akses kepada pesawat tempur Rusia untuk mengirimkan rudal yang dipandu laser. Sebenarnya, ini boleh dibilang baik sangka yang dimiliki oleh Dudayev, karena masalah Chechnya telah menjadi masalah internasional, bahkan Raja Hasan II dari Maroko telah setuju menjadi mediator antara Chechnya dan Rusia. Dan ditengah-tengah ada pula Bill Clinton, presiden Amerika, yang ingin turut terlibat. Baginya kemenangan komunis, dibawah siapa pun akan berbahaya untuk Amerika. Berbekal perasaan itu pula, saat itu Dudayev terlalu lama mengudara dan berbincang dengan negosiator perdamaian, Konstantin Borovoi, seorang anggota parlemen Rusia yang menjadi penghubung Dudayev dan Yeltsin. Saat itu, 21 April 1994, Dudayev menghubungi Borovoi untuk memberi peringatan. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Wayne Madsen, jurnalis khusus masalah intelijen, telah terekam komunikasi antara keduanya. Dudayev memperingatkan Borovoi atas serangan yang akan dilakukan oleh pasukannya tepat kejantung pemerintahan Rusia, Kremlin. "Sebentar lagi Moskow akan sangat panas," ujar Dudayev . "Apakah kau tinggal ditengah-tengahnya?" tanya Dudayev lagi pada Borovoi. Dudayev, tentu saja, tak ingin temannya yang mengupayakan perundingan damai ini terkena imbas serangan. "Kau sebaiknya pindah saat kami melakukannya." Dudayev kembali meperingatinya lagi. Mujahidin Chechnya saat itu berencana menyerang Kementerian Dalam Negeri Rusia. "Tak ada diskusi lagi, kami akan menyerangnya," tandas Dudayev ketika Borovoi memintanya untuk berpikir ulang. Tak lama setelah itu, sambungan telepon milik Borovoi terputus. Dan dalam hitungan menit, dua buah pesawat jet jenis Sukhoi SU-25 meluncur dengan bekal titik kordinat yang diberikan oleh satelit mata-mata Amerika. Sekejap saja, ledakan besar terjadi diperkampungan Gekhi Chu, 20 mil arah Selatan dari kota Grozny. Stelah ledakan yang panjang, Gekhi Chu menjadi senyap, sesenyap-senyapnya. Tak ada angin yang menggerakkan ranting pepohonan. Tak ada suara belalang. Jenderal Dzokar Musayevich Dudayev telah syahid. Dan beberapa saat kemudian, suara tangis sambung menyambung. Ibu-ibu seluruh Gekhi Chu seolah langsung tahu, bahwa pemimpin yang mereka cintai telah tiada. Mereka menangisi kematian Dudayev melebihi tangis mereka pada saat kehilangan anak, suami, dan saudara mereka sendiri karena mereka tengah menangisi pemimpin yang telah membukakan pintu kemerdekaan Chechnya. Kemerdekaan yang mengantarkan mereka pada cita-cita hidup dibawah negeri Islam yag penuh kedamaian. Jika hari itu cita-cita mereka belum tercapai, jika hari itu Dudayev lebih dulu berpulang, tak mengapa. Mreka telah berjanji akan bertemu lagi dibawah bendera Nabi. Bendera tempat bernaung orang-orang yang berjihad dengan seluruh hati. Insya Allah... Referensi : Perjalanan Meminang Bidadari

0 comments:

Post a Comment